Wednesday, May 27, 2015

Dia Istimewaku, & Gadis Obsesi Selebritis.

sumber foto : medicalxpress.com
Sebenarnya yang  ingin aku tuliskan adalah betapa dekatnya aku dengan kematian. Lima hari lalu, hanya sedikit lagi jarak antara aku dan kebebasan. Sedikit lagi, dan aku bisa meninggalkan badan dengan pikiran kacau balau ini.

Tapi ternyata umur memang tidak bisa ditawar. Kalau belum waktunya, tidak bisa dipercepat, tidak bisa diperlambat.

Lalu kenapa mendadak bicara lagi tentang mati? Karena memang lima hari lalu kematian itu sudah dengat. sangat dekat, dan semuanya gara-gara seorang gadis dengan obsesi hidup menjadi selebritis. Sepertinya.
Tapi aku sedang tak ingin menulis tentang kematian itu, aku ingin menulis yang lain saja. Dan ada sedikit kaitan dengan gadis itu.

Awalnya hampir seminggu lalu. Ummi pulang dari rumah saudara abi, jauh dari kota Takengon tempatnya. Seorang perempuan hampir sebaya ummi ikut, bersama perempuan itu ada seorang gadis bertubuh montok.

Montok. Karena kalau aku katakan bunder, sangat menghina. Tapi kalau ku katakan gemuk, banyak perempuan menghindari kata itu. Jadi montok aja deh. Kulitnya sawo matang. Matangnya kira-kira seperti buah sawo yang jatuh dari pohonnya lalu mandi matahari demi kesehatan, selama dua atau tiga hari.

Di kepala si montok ada kain, dia menyebutnya sebagai jilbab, dengan lilitan berputar melingkar yang rumit, dan hiasan meriah. sangat cocok untuk ikut serta pada carnaval di Brazil yang terkenal itu. Sayangnya rumit tidak menjamin rambutnya tertutup, poni panjang yang diwarnai merah kebiruan menari-nari dikening.

Penampilannya mengingatkanku pada film-film arabian night. Celana lebar berkibar seperti aladin dengan jubah warna warni. Baju yang sama ini dikenakannya juga ketika aku kemarin memberanikan datang menjumpai seseorang yang istimewa.

"Siapa bilang pelangi hanya muncul selepas hujan," bisiknya pelan, pandangannya jelas takjub melihat si montok yang menemaniku dengan ceria berbicara tentang betapa inginnya dia ke Jakarta.

Aku mencoba bersikap acuh seperti biasa. Seharusnya aku tidak nyaman bila bertemu orang lain, tapi yang seharusnya biasa itu tidak terjadi ketika bertemu dia. Sudah lebih empat tahun, dan aku masih juga merasa nyaman, walaupun hanya duduk disampingnya. Jangan tanya, karena aku juga tidak bisa menjelaskan.

Seandainya aku bisa membawanya pulang. Kujadikan milikku seutuhnya. Mungkin duniaku akan lebih indah. 

"Jangan, Na. Jangan melanggar batas. Ada dinding kaca antara kalian berdua. Dinding itu bernama sopan santun." Mendadak Wempy berbisik mengingatkan. Wempy tahu apa yang ingin ku katakan. Dan aku tahu, bila ku tanyakan, bisa saja dinding kaca itu berubah menjadi benteng tebal. Dan aku tak akan bisa lagi menjumpainya. Tapi bila tak ku tanyakan, pikiranku akan terus berputar tak tenang.

"Bang, masihkah ingat surat itu." Tuhan, mukaku pasti memerah, karena panasnya terasa sampai ke kaki. Malunya, tapi aku memang harus bertanya. "Abang, marah untuk surat Na itu?"

"Tidak, itu hak kamu untuk menulis," Dia tersenyum, "Selama kamu masih mengerti, saya tidak punya kewajiban apapaun untuk menjawab. Lagi pula kamu tahu jawabannya, Na." 

Nyesss. Sejuk rasanya. Dia tidak marah. Dan memang aku tahu jawabannya. Kata-kata yang ku tulis sebagai bentuk kagum dan terima kasih untuk dia, memang tak perlu jawaban. Dan seperti katanya, aku tahu jawaban yang akan diucapkannya. Hatinya sudah ada yang punya.

Terkadang, ada hal yang tak butuh penyelesaian. Hanya butuh dikatakan, disampaikan. Itu saja.

"Cukup sampai disini, Na," Wempy menggelengkan kepala, dia berdiri santai, karena tak ada yang tahu dia ada selain aku, "Sekali ini kamu beruntung, Na. Jangan menguji keberuntunganmu berlebihan. Kamu tidak tahu kapan itu habis."

Aku menunduk, mengangguk pelan setuju. Empat tahun, aku hanya menyimpannya dalam ingatan, dan hari ini, satu pertemuan, melihat kembali senyumnya, mendengar kembali suaranya, membingkai kembali kenangan baru tentang dirinya. Semoga itu cukup. Setidaknya untuk empat tahun ke depan.

Aku harus menetapkan hati, Wempy. Untuk tidak menjumpainya lagi. Wempy mengangguk setuju.

Si montok masih menceritakan dengan gembira, betapa kagumnya dia pada Risti Tagor dan Laudya Cynthia Bella, juga Oki Setiana dan mbak Peggy Melati. Seandainya dia tahu, bahwa Oki dan mbak Peggy pasti tak setuju dengan penampilannya.

Wempy tergelak mendengar cerita si montok. Aku mau tak mau tersenyum juga, dan melirik kesamping, kulihat dia menarik nafas panjang dan berat, memaksakan tersenyum dan berkomentar ramah. Bukan mungkin, aku tahu dia lelah mendengar impian-impian si montok.

Sepasang tangan mungil menepuk lututku, memberikan segenggam rumput yang dicabutnya entah dari mana. Tersenyum ceria ketika aku menerimanya. Lalu berlari bermain kembali dengan kakaknya. Aku melirik lagi ke samping, tak kentara matanya selalu bergerak mengawasi buah hatinya. Polo Shirt yg dikenakannya sudah agak memudar warnanya, pakaiannya sederhana. Tidak ada lagi jas mewah, dasi atau kemeja mahal seperti ketika dulu aku pertama melihatnya.

Rambutnya mulai ada uban, juga kerut yang kian terlihat disudut matanya. Kantung mata yang sedikit menggelap, juga tangan yang bahkan dari jauh bisa kulihat kapalan dan kasar. Hidupnya tak lagi mewah, tapi aku tahu dia bahagia.

Apakah dia kekasihku? Sama sekali bukan. Walaupun aku tak berbohong, aku menyimpan asa untuknya, tapi itu urusanku dengan hatiku. Dia dulu adalah guru yang tak sengaja kutemukan. Dia mengajari tentang kehidupan. Dan bahkan sekarang, setelah dia tak lagi menjadi pengajar, dia masih mengajari tentang hidup.

Kalau ada bagian hidup yang sangat aku syukuri. Adalah pertemuan dengannya.
  


1 comment:

  1. Judulnya aja udah memancing untuk baca :D
    Cakeps Na tulisannya as always.

    ReplyDelete