Tuesday, June 23, 2015

Kunang-Kunang Sahur

tumblr.com
Entah hari keberapa, dan untuk kesekian kalinya, laptopku jadi saksi maju mundurnya seorang Nana. Aku menulis, menulis, nulis, nulis lagi, tapi males banget klik publish. Sakit ini menghirup semua semangat.

Rasanya jadi sangat menyenangkan terus bergelung dipeluk selimut. Mungkin sih ya, karena dinginnya menggila beberapa hari ini. Mungkin juga ya, karena tidur ini semakin mirip dengan pintu gerbang besar. Dengan dua tiang tinggi melengkung, dan musik lembut yang menentramkan dari seberang sana. Menyeberang ke sisi sana terasa sangat mudah. Sejangkauan tangan juga sampai. Hanya perlu mengulurkan tangan, lalu glek. Na pasti sampai ke sana. Sudah dua hari sejak Na salah minum obat, sampai sekarang masih terasa mengambang. Memejamkan mata, rasanya begitu tenang. Enggan untuk bangun.

Gampang, mudah, easy. You named it. Percaya, segampang itu. Mati itu tidak sulit.

"Hanya satu sentuhan, Na." Wempy berbisik pelan membujuk. Tangannya menunjuk layar sentuh yang berpendar-pendar. Nama Dia kemilau di layar.

"Satu sentuhan saja, Na. Percaya kepadaku sekali lagi, Na. Suaranya akan menenangkan setan kecil dihatimu."

Kami sama-sama tahu. Setan kecil itu sedang berbisik tentang betapa mudahnya tertidur dan tak perlu bangun lagi. Dan itu tawaran yang menyenangkan. Aku bisa berhenti memikirkan semua kecemasan tidak berujung itu, berhenti seolah tak perduli dengan inbox demi inbox yang mengganggu. Bisa tertidur lelap, selamanya. Membiarkan cinta dan rindu kepada Dia abadi tanpa diusik beban moral lagi.

"Satu sentuhan saja, Na." Wempy tersenyum meyakinkan. Dan sebenarnya aku tahu, aku memang membutuhkan mendengar suaranya. Aku tahu ada dinding moralitas antara aku dan Dia. Tapi aku juga tahu, dengan caranya sendiri, Dia mencintaiku.

Aku mengacuhkan paras lega di wajah Wempy. Fokus saja pada nada sambung. Ah, setiap masa menunggu berjumpa dengannya, secara langsung atau sebatas suara atau hanya tulisan inbox, selalu menjadi debar indah namun mencemaskan. Bagaimana kalau kali ini dia tidak mau lagi menemuiku.

"Na." Tuhan, suaranya selalu menenangkan.

"Belum tidur, abang." Semoga dia tidak meraba ada getar dalam suaraku. 

Dia tertawa. Lalu pelan bercerita sedang menulis dan apa yang dituliskan. Ada yang menitipkan salam, katanya. Dia menyebutkan nama seorang teman. Bagaimana denganmu, apakah kamu tidak merindukan Nana. Kalimat yang ingin ku ucapkan tapi sebaiknya kusimpan saja. Sayangnya lisan dan pikiranku berbeda pendapat.

"Na rindu." Wempy tersandung ketika kata itu meluncur keluar. Dia membelalakkan mata tak percaya, aku juga. Kalimat itu berbahaya. Dunia kaca ini bisa ambruk karena pernyataan bodoh itu.

Dan, Dia tertawa. Aku melirik Wempy, yang juga terpana menatapku. Dia tertawa, tidak marah. Dia tertawa. Dan aku menghembuskan nafas yang sejak tadi tak sadar kutahan. Dia tertawa. Keajaiban alam memang ada.

Dua puluh tujuh menit empat puluh tujuh detik. Untuk pertama kalinya kami berbicara sesantai itu. selama itu. Aku menceritakan sahur pertama di pegunungan ini, canai kari buatan ummi, si montok yang sedang kasmaran dengan seorang pemuda dekat rumah. Dia menjawab, bercanda mengenai obsesi selebritis si montok, dan dengan lembut menanyakan kondisi kesehatan ummi. Lalu pelan bertanya kabarku.

"Jaga kesehatan ya, Na." Lalu kami kembali ke dunia kami yang terpisah dinding kaca itu. Dia dan rumahnya dan dunianya dibawah cahaya matahari juga siran rembulan, aku dengan segala hal dalam dunia kecilku.

Wempy menatapku. Ada yang berbeda. Aku merasa lebih utuh. Seolah selama ini aku hanya asap tanpa bentuk, tapi sekarang jadi padat. "Dengan caranya sendiri, Dia menyayangimu, Na."

Bolehkah ku sebut mencintai, Wem.

Wempy menggeleng lembut. "Mencintai dan menyayangi itu berbeda, Na. Kamu tahu dia tidak akan menyeberangi dinding pembatas itu."

Ketukan pelan dipintu terdengar. Si Montok sekarang lebih tahu aturan. Tidak lagi menerobos masuk dan mengacak-acak selimutku untuk membangunkan sahur. Aku melangkah ke pintu, dan melihat cahaya kecil di jendela. Perlahan aku membuka jendela.

Kunang-kunang, di tempat dingin begini? Tapi memang kunang-kunang. Api kecil milik para peri. Cahaya dari dunia orang mati. Dua ekor kunang-kunang terbang berputar di bingkai jendela. Menari-nari dengan tarian kunang-kunang lalu terbang menjauh.

Dua cahaya kecil dalam dunia yang gelap.

Wempy sibuk sendiri di sudut kamar. Ia menarik keluar saxofone dari udara hampa. Menggeleng lalu menghilangkannya. Sekarang menarik gitar, menggeleng lagi. Picolo, menggeleng lagi. Akhirnya ia mengangkat kaki ke sandaran sofa, lalu bersenandung pelan.

Aku menutup pintu kamar. Sahur. Ummi dan yang lain menunggu di bawah.

Terdengar pelan suara Wempy menyenandungkan Station, menembus dari celah pintu.

Well I will ring you up
Say I want you back
Chat back stab say I never wanted that
It's just inevitable distance
Twisted bitterness
Give her two months she’ll be over that

2 comments: