Monday, May 11, 2015

Peraduan Hijau dan Dingin

Kamu tahu? Kalau kulangkahkan kaki menyusuri halaman belakang, aku akan tiba di tepi danau. Bagiku ini masih seperti sekeping surga yang jatuh ke bumi. Tapi juga rasanya seperti  terjebak dalam batas antara dua dunia. Dari lantai dua, dua jendela besar di kamar membuka ke arah berbeda. Satu, kota kecil yang sibuk selama matahari bersinar, dan menjadi pendiam saat malam datang. Aku bisa melihat puncak-puncak bangunan sampai jauh, kesibukan terminal bus kecil dan segelintir pasar.

Satu jendela lagi membuka ke halaman belakang. Pohon besar yang aku tak tahu namanya, cukup banyak, dan kata ibu tetangga, dua pohon di sudut adalah durian. Sepertinya menyenangkan saat masa berbuah tiba. Ada juga sebaris pohon kopi. Luar biasa, di sini bahkan masih ada kebun kopi di tengah kota. Halaman belakang terus melebar panjang, dan berhenti di pagar tinggi kawat berduri yang membatasi halaman dan tepian danau.

Sejak pindah, aku menghabiskan pagi dan sore, bergelung dalam selimut di bangku kayu di tepian danau. Setelah berhasil tak perduli pada banyak laki-laki yang tersenyum-senyum tanpa sebab, menyapa dengan bahasa yang kadang tak ku mengerti. Suasananya menyenangkan. Tak peduli kan mereka, maka suasana menyenangkan. Dingin angin dari danau dan gunung, tapi menyegarkan. Memang tidak ada aroma garam samudera, tapi wangi khas danau itu juga cukup menyenangkan. Lebih menyenangkan setelah tahu bahwa kami beruntung karena disekitar rumah, kiri kanan sampai lumayan jauh, rumah-rumah lain tidak ada yang membangun kamar mandi di tepi danau. tidak merusak pemandangan seperti di kampung sebelah sana.

Kamu juga akan tersenyum dalam hati. Walaupun sebenarnya lebih lega kalau bisa tertawa lepas. Bukan tentang pemandangan, tapi para pemuda itu. Kombinasi unik antara gaya rambut dan busana ala korea, dan wajah melayu yang tidak pas dengan gaya. Bukan menghina. Gaya tetap butuh aturan, seperti hal lain dalam hidup kita kan?

Aku teringat mermaid. Kamu pasti tahu putri duyung kan. Itu nama yang sama untuk satu mahluk khayalan. Melihat air yang beriak pelan, sekali-kali dasarnya terlihat. Pasir dan tanah berbatu. Gelap. Tapi seringnya air seperti cermin. Berkilau memantulkan pemandangan di atasnya. Deretan hutan dan gunung. Hijau gelap, mengalir, bergoyang, seperti menari. Kadang aku merasa mereka berbisik memanggil.

"Na, lepaskan semua. Lalu mengalir bersama kami. Kita jelajahi semua. Atau kamu bisa tertidur lelap. Kami akan memelukmu. Menutupi telinga dan matamu dari segala cerita dunia. Tak perlu lagi berurusan denga segala panik dan cemas tak penting yang sering liar menjadi-jadi itu."

Ajakan yang sangat menggoda. Aku membayangkan aku menjadi mermaid. Menari dalam danau, atau sekedar melayang mengikuti aliran air yang dingin. Melayang, terus melayang dan mengalir, mungkin satu masa nanti sampai kembali ke lautan.

Atau tak perlu merindukan ekor ikan yang eksotis. Aku hanya menjadi aku. Melepaskan semuanya. menarik nafas dalam, sedikit bantuan kimia sintetik, mengistirahatkan otak yang lelah, meliburkan jantung yang sering berdegup cepat panik tanpa alasan. Lalu ketika semua bagian tubuh ini tertidur. Aku bisa ikut tertidur diperaduan air yang hijau dan dingin itu. Tidur nyenyak. Menyenangkan sepertinya. Tidur tanpa kecemasan tanpa mimpi tanpa perlu berpikir bahwa besok terbangun dengan masalah dan masalah, dari kulit pisang yang memuakkan, sampai laki-laki terkasih yang tak jauh namun tak terjangkau.

Sepertinya menyenangkan. Walaupun tak mungkin. Ummi hanya punya aku. Dan selain dia, hanya ummi yang aku sayangi. Tapi, membiarkan pikiran tentang tidur lelap itu, tetap menyenangkan.

No comments:

Post a Comment