Monday, May 4, 2015

Di Tepian Keping Surga

Sehari berlalu, dan kuhabiskan terkapar kelelahan. Memindahkan kotak demi kotak, koper dan barang, menata lemari dan rak buku, juga kasur dan tempat bergelungku. 

Lelah seharian terbayar malam tadi, aku larut dalam kegembiraan. Menggulung diri dalam selimut tebal yang nyaman, secangkir cokelat panas, buku di tangan, dan dinginnya udara pegunungan. Dingin yang alami, bukan dingin artificial yang dihembuskan mesin. Malam tadi aku merasa sudah sangat gembira.

Hingga pagi ini terjaga. Dan semula semua masih terasa biasa.

Ummi mengizinkan seluruh lantai dua menjadi teritori Sarinah. Dan lantai dua ini walau tak punya teras, tapi punya jendela lebar dengan bangku kayu lebar di depannya. Memandang keluar selepas subuh tadi, tak ada yang istimewa . Aku melarutkan diri dalam cinta yang diuntai pada baris demi bari kata novel Sabtu Bersama Bapak.

Lalu kerlip cahaya membuatku berpaling. Dan aku terpesona. Laut berair tawar itu menyajikan lukisan alam, meruntuhkan kesombongan manusia yang punya akal, tentang betapa kecilnya kita. Aku berharap aku adalah Claude Monet. Sehingga bisa melukiskan indahnya sajian alam di depanku. Seperti Monet yang memandang keluar kamar hotelnya dan melukiskan "Impression, Soleil Levant." di kota Le Havre, Paris. 1872.


Aku jatuh cinta, Tuhanku memang suka memberikan hadiah bagi hambaNya.

Melepaskan samudra, lautan dan cinta abadinya pada pantai. Aku memang akan terus merindukannya. Tapi di sini, aku menemukan cinta yang lain. Tidak ada amis garam di udara, malah aroma tanah hutan pegunungan yang lembab dan basah, sisa hujan yang membadai semalam. Tak ada deru ombak yang mendebur, menggetarkan rongga dada. Tapi gemericik air yang mengalir, bahkan dari saluran drainase, adalah gemericik indah yang hanya kutemukan dulu di lairan sungai.

Mungkin saluran drainase itu, dimasa lalu sebelum manusia merambahi keperawanan hutannya adalah sungai kecil, dan mereka tetap menyanyikan symphony alam raya meskipun tepi mereka kini beton dan pasir.

Kabut mengapung dipermukaan danau. Cahaya matahari perlahan memperjelas gradasi warna dan bentuk. Biru langit mulai terukur, dan hijau pohon hutan yang masih memenuhi gunung menyapa pandangan.

Tak sejauh yang kuharapkan, karena rumah kami ternyata masih di perkampungan ramai. Aku bersyukur abi mewariskan tanah luas dengan pagar pemisah, dan letak rumah yang di tepi bukit. Dari lantai dua aku bisa melihat danau luas melaut itu. Dan disudut sana, aku bisa melihat kota Takengon.

Rumah-rumah rapat, dengan aturan tak ada. Acak, berantakan. Dan diantara mereka, dibalik salah satu atapnya, ada tujuan rindu yang lama menari.

Jangan melangkahi batas. Mendadak Wempy berbisik. Sejak tadi seperti aku, dia pun tersipu menatap air, danau, dan gunung yang memagarinya. Aku tahu, Wempy. Aku tahu. Tapi aku menyukai pemikiran dan kenyataan, kami mungkin menghirup hembus angin yang sama. 

6 comments:

  1. jadi novel "wempy" kayaknya keren tuh

    ReplyDelete
  2. Tulisannya asyik dibaca, memakai bahasa metafora. Serasa narasinya sedang dituturkan langsung oleh sang penulis. Beautiful writing!

    ReplyDelete
  3. Tulisannya asyik dibaca, memakai bahasa metafora. Serasa narasinya sedang dituturkan langsung oleh sang penulis. Beautiful writing!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makaci, masih perlu banyak belajar Nana. Senpai semua di GIB mah keren-keren semuanya. Kecuali satu.

      Delete
    2. Terima kasih banyak, Sarinah. Sama semua kita masih sama belajar. Kecuali satu? Siapa itu ya, hehehe. (you know who, hehehe)

      Delete
    3. Dia-Yang-Namanya-Tak-Perlu-Disebut :)

      Na, bakal hapus semua komen dia. Bang Azhar tulisanya bagus-bagus.

      Delete